Najib Naufal dan 12 Tahun Perjalanan Menempa Diri di Rumah yang Bernama Pesantren

“Kenangan. Kalau disuruh menyebut satu kata untuk menggambarkan semuanya, ya itu kenangan.”

Bayangkan seorang anak berusia enam tahun—belum genap paham apa arti kata “berpisah”—berdiri di gerbang pesantren dengan mata membulat dan hati penuh tanya. Di sekelilingnya, wajah-wajah asing, bangunan yang tak seperti rumah, dan aturan yang belum ia mengerti. Anak itu adalah Najib Naufal, dan itulah hari pertama dari dua belas tahun perjalanan hidupnya di Pesantren Tahfizhul Quran Al Azka.

Hari itu bukan sekadar awal mondok. Itu adalah awal dari proses panjang membentuk seorang anak menjadi lelaki dewasa, pembelajar Al-Quran, dan manusia yang utuh.

Langkah Kecil Menuju Cahaya

Najib tak sendirian dalam keputusan itu. Keinginan orang tuanya yang ingin menanamkan nilai-nilai Al-Quran sejak dini bertemu dengan keinginan batin sang anak untuk menjadi pribadi yang lebih mandiri. Maka sejak kelas 1 SD, ia resmi menjadi santri Al Azka.

“Awalnya tentu nggak mudah,” ujar Najib mengenang. “Saya masih terbiasa bermain, belum mengerti jadwal, belum paham apa itu tanggung jawab.” Tapi waktu, dan suasana pesantren yang penuh bimbingan, perlahan menjinakkan jiwa kecilnya. Dari terbata-bata membaca, ia mulai mengenal baris demi baris ayat suci. Dari bermain tanpa aturan, ia mulai belajar bangun sendiri sebelum subuh.

Dari Rindu yang Menjadi Kekuatan

Di balik keberhasilannya menyelesaikan pendidikan selama 12 tahun di pondok, ada hal yang jarang terlihat oleh mata luar perjuangan melawan diri sendiri.

“Saya sering kangen rumah, kangen ibu, kangen suasana Jakarta,” katanya lirih. Tapi tak pernah sekali pun ia benar-benar menyerah. “Kalau jenuh, saya pura-pura nggak jenuh. Saya ajak teman main, saya sibukkan diri.” Ada kekuatan dalam kesederhanaan itu—cara seorang anak mengubah rasa rindu menjadi bahan bakar kesungguhan.

Menghafal Al-Qur’an: Bukan Sekadar Hafal

Di pesantren, Al-Quran bukan sekadar pelajaran. Ia adalah cahaya yang menuntun hari demi hari. Najib menjelaskan dengan tenang bagaimana prosesnya menghafal ayat demi ayat: membaca dulu, memecah per waqaf, menyambung, lalu menggabungkan satu halaman penuh.

“Kadang-kadang saya ulang ayat yang sama berkali-kali. Tapi saya tidak pernah merasa itu sia-sia,” ucapnya. Karena setiap ayat yang melekat di hati, adalah pijakan dalam membentuk kepribadian dan batin yang kuat.

Guru yang Menjadi Pelita

Dari ratusan sosok guru yang ia temui, satu nama terpatri paling dalam: Ustadz Muhammad Abdul Chamid.

“Beliau membimbing saya sejak saya masih kecil—kelas 1 SD—sampai saya lulus SMA. Beliau bukan cuma guru, tapi orang tua kedua bagi saya di sini.” Ustadz Chamid bukan hanya mengajarkan ilmu, tapi juga memperlihatkan kasih sayang, ketelatenan, dan kesabaran yang menjadi teladan nyata.

Pesantren, Cermin Diri dan Sekolah Kehidupan

Pesantren bagi Najib bukan hanya tempat belajar. Ia adalah sekolah kehidupan yang mengajarkan jauh lebih banyak dari sekadar teori: kedisiplinan, tanggung jawab, keteguhan hati, dan kemandirian.

Bayangkan seorang anak kecil belajar mengatur jadwalnya sendiri, bangun sebelum fajar, mencuci pakaian, menjaga hafalan, dan tetap tersenyum. “Pesantren mengajari saya untuk hidup. Benar-benar hidup,” ujarnya.

Pergaulannya dengan teman-teman juga tak pernah sepi dari kisah lucu. “Kadang kami saling kejar-kejaran cuma karena rebutan ember. Tapi di situ justru kami belajar: bagaimana menghargai, memahami, dan menertawakan hari-hari yang berat bersama.”

Pesan untuk yang Masih Berjuang

Kini, Najib telah lulus. Ia berdiri di luar gerbang yang dulu menyambutnya dengan segala ketidaktahuan, kini dengan penuh keyakinan dan cita-cita menjadi pribadi yang sukses dan ilmunya bermanfaat dunia akhirat.

Tapi ia tak lupa memberi pesan bagi adik-adik santrinya:

“Jangan menyerah. Jangan boyong hanya karena merasa lelah. Itu cuma hawa nafsu. Nikmati semua proses. Karena nanti, kalian akan tahu, betapa berharganya masa-masa itu.”

Kenangan yang Tak Akan Luruh

Ketika diminta menggambarkan 12 tahun itu dalam satu kata, Najib menjawab pelan tapi pasti “Kenangan.”

Bukan karena ia ingin bernostalgia, tapi karena ia tahu, semua yang ia alami—tangis, tawa, lelah, haru, hafalan, bahkan ember rebutan—telah membentuknya menjadi Najib yang hari ini. Yang telah tumbuh, kuat, dan membawa cahaya Al-Quran dalam jiwanya.

Dan di balik semua itu, Pesantren Tahfizhul Quran Al Azka akan selalu menjadi rumah. Tempat pulang batin, tempat rindu akan suara adzan subuh, tempat segala perjuangan bermula.

Melanjutkan Pendidikan Ke Negeri Tirai Bambu

Perjuangan dalam dunia pendidikan, Najib Naufal direncanakan melanjutkan program Sarjana di Jiangsu Collage of Tourism,  Jiangsu province, China. Mendapat kesempatan pendidikan di luar negeri, bagi Najib Naufal merupakan anugrah dan rezeki yang ia syukuri. Ia akan membuktikan bahwa seorang Alumni Santri Al Azka mampu bersaing dan menuntut ilmu di luar negeri.